Pembangunan Kota Jakarta Hanya untuk Kaum Borjuis

Skyline of central Jakarta, Indonesia.

Jakarta adalah satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat dengan provinsi. Dahulu pernah dikenal dengan beberapa nama di antaranya Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia. Saat ini, Jakarta juga dikenal sebagai kota The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding New York (Big Apple). Sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini sudah terlanjur menjadi kota yang memiliki jumlah mall terbanyak di dunia. Pembangunan-pembangunan di Jakarta terus berkembang dan seakan tak pernah habis. Namun, sebenarnya untuk siapakah pembangunan-pembangunan tersebut?

Cover buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn (2012)

Pada Jumat malam (24/11/2020), saya pergi ke Sekretariat LPM Didaktika UNJ di Gedung G Lantai 3, Kampus A Universitas Negeri Jakarta. Setibanya saya di sana, sayapun menyapa teman-teman saya, Devi Atmaja, Ahmad Rizalul, serta M. Rizky Suryana dan yang lainnya di sekretariat itu. Kami berencana untuk membedah isi buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn. Namun sebelum pembedahan buku, kami bermain kartu remi dan makan bersama.

Bedah buku ini tidak diselenggarakan secara formal, hanya seperti diskusi biasa. Bahkan, orang-orang yang hadir dalam diskusi ini sangat sedikit. Hanya ada Rizky Suryana sebagai pemantik, saya sebagai moderator dadakan, serta dihadiri oleh kawan-kawan Didaktika seperti Imtitsal Nabibah, Uly Mega Septiani, Hanan Radian Arasy (dari DKS UNJ), Ahmad Rizalul, dan Devi Atmaja. Diskusi berlangsung kira-kira selama dua jam, dimulai dengan membaca narasi yang telah ditulis oleh Rizky hingga membahas tentang sejarah penggusuran dan segregasi di Jakarta dari masa ke masa serta dampaknya dari segi sosial, budaya, hingga politik.

borjuis /bor·ju·is/ n kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas.

Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda pun, pembangunan kota Jakarta (yang saat itu dikenal sebagai Batavia) tidak diperuntukkan untuk rakyat. Penggusuran sudah dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta untuk memperluas pemukiman baru. Model perumahan yang sesuai dengan gaya khas Eropa, lahan-lahan berisi rumah dengan taman di bagian depan dan belakang, semua menghadap ke jalan beraspal. Pemukiman seperti ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa. Pembukaan lahan pemukiman baru di luar Weltevreden ke arah Selatan dan Tenggara pada dekade 1920-an, membuat warga pribumi Menteng dan sekitarnya yang terdampak pembangunan ini makin tergusur ke arah Selatan.

Setelah kemerdekaan Indonesia dari Hindia Belanda, penggusuran masih terus berlanjut. Pemerintah menggusur lahan rakyat demi mempercantik kota. Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno seorang lulusan teknik sipil ingin menampilkan Jakarta sebagai mercusuar dunia. Dalam bukunya, Blackburn mencatat bagaimana kondisi pemukiman rakyat yang padat dan tidak sehat selama masa-masa pembangunan Jakarta era Sukarno.

Tidak berhenti di era Sukarno, di era Orde Baru pun juga demikian. Daya tarik Jakarta sebagai kota metropolitan membuat meningkatnya migrasi dan urbanisasi. Alhasil, kota ini menjadi kota yang padat penduduk. Selaku Gubernur saat itu, Ali Sadikin menata kota dengan proyek Muhammad Husni Thamrin dan menerapkan Rencana Induk yang berisi daerah-daerah yang tidak boleh didirikan bangunan.

Sayangnya, warga Jakarta tidak dilibatkan dalam Rencana Induk karena Ali meminta untuk tidak mempublikasikan rencana ini ke media massa. Pembebasan-pembebasan lahan pun dilakukan. Tak sedikit pembebasan lahan berujung pada kegagalan Pemerintah Kota untuk membayar kompensasi kepada warga. Sebagai gantinya, Pemerintah memberi alternatif warganya untuk pindah ke rumah susun atau ke perumahan publik dengan biaya sewa yang lebih mahal dari rumah yang ditempati sebelumnya.

Hingga saat ini, penggusuran lahan warga terus berlangsung. Penindasan atas nama pembangunan infrastruktur terus dilanggengkan. Contoh saja, penggusuran di daerah Pekayon yang mana warga sendiri merasa bingung dengan status kepemilikan tanah terlebih Badan Pertanahan Negara (BPN) Kota Bekasi sebelumnya telah menyatakan bahwa lahan gusuran itu bukan milik pemerintah. Namun, pembangunan jalan sudah dilaksanakan dan bahkan jalan tersebut sudah dioperasikan.

Penggusuran-penggusuran tempat tinggal rakyat ini menimbulkan banyak dampak, mulai dari segi sosial, budaya, hingga politik. Dari segi sosial-budaya, dampak penggusuran oleh Hindia Belanda terhadap pemukiman pribumi menimbulkan konflik horizontal antara pribumi dan etnis Tionghoa yang mana mereka diberi Pemerintah Kolonial akses untuk mendapat hunian layak karena mereka sudah menjadi “rekan bisnis” Belanda sejak zaman VOC. Konflik horizontal ini sengaja diciptakan oleh Pemerintah Kolonial, seakan-akan penyebab masalah adalah orang Tionghoa, padahal sistem kolonialisme yang menjadi sumber masalah.

Selain mengobrol tentang sejarah pembangunan kota Jakarta yang berjalan hanya demi kepentingan borjuis, kami mendiskusikan tentang solusi untuk pembangunan kota Jakarta walau bukan solusi pasti. Pembangunan rusun dengan biaya sewa yang tidak mahal bisa menjadi solusi agar tidak ada lagi rakyat yang tinggal di bedeng atau hunian yang tidak layak.

Penulis: Danu Dewa

Javanese Kaifengese. Saya menulis hal-hal yang saya sukai.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.