Biosentrisme dan Kepedulian terhadap Lingkungan Alam

Sebuah ilustrasi (Sumber gambar: Bizjournal.com)

Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pengertian lingkungan hidup bisa dikatakan sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar manusia atau makhluk hidup yang memiliki hubungan timbal balik dan kompleks serta saling mempengaruhi antara satu komponen dengan komponen lainnya. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia.

Seiring perjalanan hidup manusia dari zaman dulu hingga zaman modern sekarang, manusia sering melakukan kesalahan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan. Pemikiran manusia cenderung antroposentris, menganggap kehidupan manusia lebih penting daripada yang lain. Namun di zaman sekarang, seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk melestarikan lingkungan hidup, pemikiran kaum peduli lingkungan banyak yang cenderung biosentris dan ekosentris.

Lalu, apa saja kerusakan lingkungan dan ulah buruk manusia? Mengapa keanekaragaman hayati itu penting? Apa itu antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme? Mengapa biosentrisme memiliki kaitan erat dengan kepedulian terhadap lingkungan?

Kerusakan Lingkungan Hidup

Kebakaran hutan dan lahan di Riau
(Sumber gambar: Okezone)

Dilansir dari Okezone (25 Juni 2019), kebakaran hutan dan lahan terjadi di Provinsi Riau dan telah menghanguskan sebanyak 3.147 hektar. Ini merupakan catatan satuan tugas kebakaran hutan dan lahan (Satgas Karhutla) dari Januari hingga pertengahan 2019. Wakil Komandan Satgas Karhutla Provinsi Riau, Edwar Sanger mengatakan kebakaran hutan dalam terjadi di 12 kabupaten dan kota di Riau. Kebakaran paling luas terjadi di Kabupaten Bengkalis. luas areal yang terbakar mencapai 1.426 hektar.

Menurut Wakil Komandan Satgas Karhutla Riau, kebakaran hutan dan lahan dominan terjadi di Riau karena daerah itu dalam kondisi kering dan curah hujan sangat minim. Lebih ke daratan lagi, lahan di Pekanbaru juga ludes sekitar 46,51 hektar, Pelalawan 87 hektar, Kampar 64,1 hektar, Indragiri Hulu 71,5 hektar, Kuansing 5 hektar, Rokan Hulu 2 hektar dan Indragiri Hilir 118,6 hektar.

“Siaga Karhutla sudah diberlakukan sejak Februari hingga Oktober nanti, kita tentu meningkatkan kewaspadaan akan karhutla ini. Kita juga terus upayakan pencegahan dengan berkolaborasi dengan pihak terkait,” katanya.

Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia (2004) di Ao Nang, Provinsi Krabi, Thailand (Sumber gambar: Wikipedia)

Kebakaran hutan dan lahan bukanlah satu-satunya bentuk kerusakan lingkungan. Banyak bencana alam dan cuaca yang tidak menentu menjadi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Bencana alam tersebut bisa berupa banjir, tanah longsor, tsunami, angin puting beliung, angin topan, gunung meletus, ataupun gempa bumi. Salah satu bencana alam terbesar adalah gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia yang melanda sebagian kawasan Asia Tenggara dan India. Selain berbahaya bagi keselamatan manusia maupun makhluk hidup lainnya, bencana ini akan membuat rusaknya lingkungan.

Ilustrasi hutan gundul (Sumber gambar: Victory News)

Tidak hanya faktor bencana alam, kerusakan lingkungan juga bisa disebabkan oleh faktor manusia. Misalnya saja, hutan gundul yang sebagian besar disebabkan karena illegal logging. Karena hutan gundul, sawah di Pangandaran terancam kekeringan. Hutal gundul juga picu gagal panen di Tulungagung. Tidak hanya itu, sebanyak empat desa di Kecamatan Laung Tuhup (Murung Raya, Kalimantan Tengah) terendam banjir akibat hutan gundul. Reboisasi tampaknya menjadi solusi untuk masalah ini.

Banyaknya sampah plastik di lautan (Sumber gambar: Mongabay)

Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi di daratan. Dilansir dari National Geographic, Greenpeace memperkirakan 12,7 juta ton plastik berakhir di laut setiap tahun. Fakta lapangan membuktikan, ikan laut yang tercemar tak hanya yang dekat dengan pantai, tapi di Palung Mariana yang kedalamannya 11 kilometer ditemukan hampir semua penghuninya mengkonsumsi plastik. Itu baru satu ancaman besar bagi laut, National Geographic menyebutkan ada 9 ancaman terbesar yang dihadapi laut dan isinya akibat ulah manusia:

  1. Pemanasan global
  2. Polusi plastik
  3. Penangkapan ikan berlebihan
  4. Kelalaian pariwisata
  5. Perjalanan ekspedisi laut
  6. Kelalaian pengelolaan minyak dan gas
  7. Pengasaman
  8. Perburuan paus komersial
  9. Polusi suara akibat industri laut hingga sonar militer

Manusia sebagai makhluk berakal dan memiliki kemampuan tinggi dibandingkan dengan makhluk lain akan terus berkembang dari pola hidup sederhana menuju ke kehidupan yang modern. Dengan adanya perkembangan kehidupan, tentunya kebutuhannya juga akan sangat berkembang termasuk kebutuhan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.

Jika eksploitasi SDA yang berlebihan dan pencemaran lingkungan terus dibiarkan, maka kerusakan lingkungan hidup akan terus terjadi. Terlebih jika kesadaran untuk melestarikan dan menjaga lingkungan tidak meningkat (atau bahkan menurun). Ini tidak hanya berdampak bagi lingkungan dan makhluk hidup lain, tapi juga berdampak bagi kehidupan manusia. Kerusakan alam yang disebabkan manusia tampaknya menjadi senjata bumerang bagi manusia itu sendiri.

Pentingnya Keanekaragaman Hayati

Di Bumi, keanekaragaman hayati sangatlah banyak. Mulai dari mikro-organisme seperti eubacteriaarchaebacteria, hingga protista, fungi, plantae, dan animalia. Namun, perlahan satu per satu spesies di muka Bumi punah. Entah karena faktor seleksi alam, hingga karena faktor perburuan oleh manusia.

Kuau bergaris ganda
Double-banded Argus, hewan dari Indonesia yang kini sudah punah.
(Sumber gambar: Boombastis.com)

Misal saja, kuau bergaris ganda atau dikenal sebagai double-banded Argus (Latin: Argusianus bipunctatus). Walaupun hanya sedikit saja bukti akan keberadaannya, akan tetapi dipercaya bahwa binatang satu ini merupakan hewan asli Indonesia yang berhabitat di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera. Bukti akan keberadaannya yang hingga kini tetap dijadikan acuan bahwa hewan ini pernah ada di muka bumi adalah beberapa bulu yang akhirnya dikirimkan ke London, Inggris. IUCN memasukkan kuau bergaris ganda dalam daftar hewan yang sudah punah.

Harimau sumatra di Tiepark, Berlin, Jerman (Sumber gambar: Wikipedia)

Tahun ini, sudah ada beberapa spesies dari Indonesia yang dinyatakan langka dan hampir punah karena perburuan. Dilansir dari website resmi WWF, harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) tinggal tersisa 371 individu di alam liar (berdasarkan data IUCN). Harimau Sumatera sebagai pemangsa puncak dalam rantai makanan memiliki peranan penting menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai penjaga keseimbangan ekosistem hutan, ia berperan melindungi kelestarian dan menyelamatkan kehidupan alam liar yang pada akhirnya kesejahteraan manusia pun ikut terjaga.

Jika tidak ada pelestarian dan kesadaran dari banyak pihak, maka menjadi satu hal yang tidak mungkin bahwa beberapa tahun lagi, generasi penerus bangsa ini hanya akan dapat melihat hewan-hewan tersebut melalui buku atau media lainnya saja, bukan secara langsung. Selain itu, tidak mustahil jika kepunahan hewan-hewan langka dapat memicu perubahan ekosistem. Hambatan dari usaha pelestarian mereka adalah: Tidak semua manusia sadar pentingnya menjaga keanekaragaman hayati – banyak dari kita yang menganggap usaha pelestarian hewan langka adalah hal yang kurang penting.

An anthropocentric anecdote (Sumber gambar: CartoonStock)

“Apakah keanekaragaman hayati itu penting?” pertanyaan ini sering dilontarkan oleh kaum antroposentris. Keanekaragaman hayati itu penting bagi kehidupan, bahkan menyumbang sekitar 40% bagi perekonomian dunia. Selain itu, semakin tinggi tingkat keanekaragaman hayati suatu daerah, maka semakin besar peluang daerah tersebut untuk melakukan pembangunan. Dilansir dari Biodiv, sekitar 80% kebutuhan orang miskin berasal dari sumber daya hayati.

Manfaat keanekaragaman hayati sangat vital dan memiliki peranan penting. Kenyataan menunjukan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa sumber daya hayati. Tidak peduli seberapa kecil, setiap spesies memiliki peran untuk meningkatkan produktivitas serta menjaga keseimbangan ekosistem. Keanekaragaman spesies menjamin keberlanjutan alam untuk mendukung semua bentuk kehidupan ekosistem.

Keanekaragaman hayati telah memberikan banyak untuk manusia. Mulai dari makanan, minuman, obat-obatan alami, susu, madu, hingga keseimbangan ekosistem. Misalnya, pelestarian hutan bakau mencegah terjadinya abrasi. Beberapa jenis pohon mulai dari trembesi (Samanea saman) hingga bunga merak (Caesalpinia pulcherrima) memiliki daya serap karbon dioksida yang sangat tinggi, membantu mengurangi zat pencemar lingkungan di udara. Tidak hanya pohon, hewan predator seperti hiu bahkan memiliki peran penting untuk menjaga ekosistem laut. Dalam biologi, jika salah satu spesies dari rantai makanan di alam terputus, ini akan berdampak pada spesies lainnya.

Konsep-Konsep Etika Lingkungan

Setelah membahas kerusakan lingkungan dan pentingnya keanekaragaman hayati, mari kita bahas konsep-konsep etika lingkungan. Dalam etika lingkungan, terdapat tiga konsep: antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.

Penjelasan singkat tentang antroposentrisme (Sumber: Chegg Study)

Antroposentrisme adalah konsep etika yang memandang bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Antroposentrisme juga bisa disebut sebagai paham yang mementingkan kepentingan manusia di atas kepentingan alam, istilah ini bisa ditukar dengan humanosentrisme atau supremasi manusia.

Walau antroposentrisme sering dianggap sebagai “biang” dari segala masalah lingkungan, faktanya ada beberapa pendapat tokoh dunia yang condong mendukung konsep antroposentris. Misalnya saja, Aristoteles dalam bukunya The Politics berpendapat, “Tumbuhan disiapkan untuk binatang, dan binatang disediakan untuk kepentingan manusia.” Rene Descartes, Immanuel Kant dan Thomas Aquinas berpendapat bahwa manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan makhluk lain karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional (the free and rational being). Pemikiran mereka melahirkan konsep etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme.

Sayangnya, seringkali antroposentrisme berubah menjadi pemikiran yang mendorong manusia untuk mengeksploitasi alam, dan mengabaikan tanggungjawab manusia terhadap alam. Namun, ini bukan sepenuhnya salah ideologi lingkungan antroposentris. Menurut W. H. Murdy dan F. Frase, “Argemen antroposentris yang agak lunak yaitu sesungguhnya setiap spesies ada dan hidup sebagai tujuan dirinya sendiri. Yang menjadi masalah bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk dirinya sendiri. Namun yang bermasalah adalah tujuan-tujuan yang tidak pantas dan berlebihan yang dikejar manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri.”

Penjelasan singkat tentang biosentrisme (Sumber: Chegg Study)

Berbeda dengan antroposentrisme, biosentrisme adalah suatu keyakinan bahwa kehidupan manusia memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan seluruh kosmos. Dalam Biosentrisme manusia dianggap sebagai salah satu makhluk hidup dari alam semesta yang mempunyai rasa saling ketergantungan dengan makhluk hidup lainnya di alam semesta. Biosentrisme merupakan teori yang memiliki suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang memiliki nilai tertinggi. Jadi biosentrisme, bertolak belakang dengan teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya manusia dan kepentingannya-lah yang mempunyai nilai tertinggi.

Biosentrisme juga dikenal sebagai teori life-centered theory of environment. Teori ini memandang lingkungan hidup sebagai pusat pada kehidupan. Inti dari teori ini adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam. Kewajiban ini bersumber pada pertimbangan bahwa kehidupan adalah suatu proses bernilai.

Salah satu tokoh besar yang mendukung teori biosentrisme adalah Albert Schweitzer. Inti dari teori lingkungan hidup Albert Schweitzer adalah reverence for life atau hormat sedalam-dalamnya terhadap lingkungan. Menurut Albert Schweitzer, etika biosentrisme bersumber pada kesadaran bahwa kehidupan adalah hal yang sakral. Hal ini mendorong manusia untuk berusaha mempertahankan kehidupan dan memperlakukan kehidupan dengan hormat yang sedalam-dalamnya. Albert Schweitzer memegang prinsip “adalah hal yang baik secara moral kita memacu dan mempertahankan kehidupan, sebaiknya buruk bagi kita untuk menghancurkan kehidupan.”

Penjelasan singkat tentang ekosentrisme (Sumber: Chegg Study)

Sedangkan ekosentrisme adalah merupakan lanjutan dari biosentrisme yang merupakan teori bahwa setiap makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Sebagai lanjutan, ekosentrisme sering disamakan dengan biosentrisme baik dari sudut pandang maupun dari pengertiannya sendiri, karena adanya banyak kesamaan di antara biosentrisme daan ekosentrisme. Biosentrisme dan ekosentrisme sangat bertolak belakang dengan cara pandang teori antroposentrisme yang merupakan konsep etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.

Biosentrisme menjadi Pilihan untuk Peduli Lingkungan

Sebuah quotes dari Ann Druyan.

Ann Druyan, penulis Cosmos pernah berkata, “Banyak orang memiliki kebutuhan ego ini yang membuat mereka ingin percaya bahwa Bumi adalah pusat alam semesta dan manusia adalah spesies yang paling penting, lambang paling berkuasa dari ciptaan.” Memang benar sesuai perkataan Ann Druyan, sebagian besar manusia cenderung antroposentris daripada biosentris. Antroposentrisme tertanam kuat dalam berbagai budaya dan tindakan-tindakan sadar manusia modern. Jarang sekali orang yang “menganut” biosentris.

Paul Warren Taylor, seorang philosophy educator dalam buku Respect For Nature: A Theory of Environmental Ethics menjelaskan bahwa biosentrisme didasarkan kepada empat hal. Pertama, manusia adalah anggota komunitas kehidupan di bumi. Kedua, spesies manusia bersama dengan semua spesies lainnya adalah bagian dari sistem yang saling bergantung satu sama lain. Ketiga, semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuan sendiri. Keempat, manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari makhluk lainnya.

“Paul Taylor mencatat bahwa sama seperti kita tidak akan bertanya ‘Apa gunanya manusia?’, Demikian juga kita tidak bertanya ‘Untuk apa alam bermanfaat?’ Ini tentu saja benar. Respect for Nature, karyanya adalah upaya sistematis dari konsekuensi pengamatan ini. Ini bahkan lebih relevan saat ini daripada ketika pertama kali muncul dua puluh lima tahun yang lalu. “- Stephen Darwall dari Yale University
(Sumber gambar: Princeton Press)

Selain itu, menurut Taylor untuk memahami teori biosentrisme, kita perlu membuat perbedaan antara pelaku moral (moral agent) dan subyek (moral subjects). Pelaku moral adalah makhluk yang memiliki kemampuan yang dapat digunakan untuk bertindak secara moral, sehingga memiliki tanggung jawab dan bisa dituntut untuk bertanggung jawab terhadap tindakannya (accountable beings). Berbeda dengan pelaku moral, subyek moral adalah makhluk yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk,

Bagi Taylor, kewajiban utama manusia sebagai pelaku moral terhadap alam sebagai subyek moral adalah menghargai dan menghormati alam (respect for nature). Sikap hormat terhadap alam ini ditunjukkan dalam empat kewajiban:

  1. Kewajiban untuk tidak melakukan suatu tindakan yang merugikan alam dan segala isinya (nonmaleficience atau no harm), kewajiban ini berbentuk negatif, dalam artian manusia secara moral dituntut untuk dapat menagan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang negatif dan dekstruktif merugikan dan merusak alam semesta.
  2. Kewajiban untuk tidak mencampuri (non-interference), ada dua kewajiban yang terkait. Pertama, kewajiban untuk membatasi dan menghambat kebebasan organisme untuk berkembang dan hidup secara leluasa di alam sesuai dengan hakikatnya. Kedua, kewajiban untuk membiarkan organisme berkembang sesuai dengan hakikatnya.
  3. Kesetiaan, kesetiaan di sini yang dimaksud oleh Taylor adalah janji untuk menjaga dan menghargai alam.
  4. Kewajiban restitutif atau keadilan retributif. Kewajiban ini menuntut agar manusia memulihkan kembali kesalahan yang pernah diperbuatnya dalam bentuk kerusakan ataupun pencemaran lingkungan. Manusia diwajibkan untuk mengembalikan alam yang telah dirusaknya ke kondisi semula.

Mungkin, menjadi orang yang biosentris itu berat. Namun, untuk perubahan lingkungan menjadi lebih baik, mengapa tidak? Kita bukan penghuni Bumi satu-satunya. Kita mengambil keuntungan dari alam, kita juga memiliki tanggung jawab terhadap alam. Dengan berpemikiran biosentris, kesadaran kita untuk peduli lingkungan menjadi meningkat.

Ajakan untuk mengurangi pemakaian plastik sebagai langkah awal menyelamatkan lingkungan alam.
(Sumber gambar: Liputan6.com)

Pelestarian alam adalah contoh “balas budi” yang bisa kita berikan untuk alam. Cara melestarikan alam dimulai dari hal kecil, misalnya saja dengan menjaga kebersihan lingkungan, membuang sampah pada tempatnya, dan menghemat plastik. Jika bisa, tanamlah beberapa tanaman di sekitar rumah.

Agar kelestarian hutan tetap terjaga, penebangan pohon hanya boleh dilakukan dengan sistem tebang pilih dan illegal logging harus dicegah. Hutan gundul perlu direboisasi. Perburuan liar harus dihentikan. Tidak hanya ekosistem di darat, kelestarian ekosistem laut juga harus dijaga, jangan sampai sampah di lautan terus menumpuk.

Keseimbangan ekosistem darat dan laut penting bagi lingkungan dan seluruh makhluk hidup, termasuk manusia. Kalau bukan manusia yang merawat, menjaga, dan melestarikan alam, lantas siapa yang akan melakukannya? Apakah kita akan mengandalkan simpanse?


Saya bukanlah ahli geologi, biologi, ataupun aktivis lingkungan. Saya juga bukan penulis professional. Saya sadar, apa yang saya sampaikan bisa saja benar, bisa saja salah. Untuk itu, saya memohon maaf apabila ada kesalahan kata, penulisan, ataupun hal lain dalam pos ini. Saya juga meminta kritik dan saran dari pembaca. Kolom komentar juga dibuka untuk berdiskusi secara sehat.

Saya berterimakasih kepada Ardhana Cindy Asyfa dan Paquita (atau biasa saya panggil “Irey”) yang mau berdiskusi dengan saya sebelum saya merampungkan penulisan blog ini.

Gak ada (kemunculan) manusia, dunia juga gak rugi. Tapi, karena manusia sudah ada, seharusnya manusia hidup berdampingan dengan alam dan ekosistem. Bukan malah merusak alam.

– Ardhana Cindy Asyfa

Saya juga berterimakasih kepada semua orang yang membaca pos ini. Saya harap, apa yang saya sampaikan dalam pos ini menjadi hal yang bermanfaat.


Referensi:

Penulis: Danu Dewa

Javanese Kaifengese. Saya menulis hal-hal yang saya sukai.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.